Oleh: Gama Lielo. Baru-baru ini
lembaga riset nirlaba Freedom House di Amerika Serikat menilai kualitas
demokrasi kita tergolong rendah. Lemahnya penegakan hukum dan jaminan
kebebasan sipil, kepemilikan media yang berpusat pada segelintir elite,
maraknya korupsi antara lain menjadi penyebab rapor demokrasi kita
melorot. Indonesia masuk di jajaran 35 negara yang sedang berada dalam
persimpangan jalan bersama Vietnam, Malaysia, Myanmar dan Kamboja.
Padahal di bulan Juni lalu posisi Indonesia pun memburuk dalam Indeks
Negara Gagal 2012 yang dikaji The Fund of Peace di AS. Dan di awal bulan
September, posisi Indonesia juga melorot dalam Indeks daya Saing Global
yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (Tajuk Kompas, 21/9/2012).
Intinya, hasil kajian oleh
tiga lembaga di atas sama-sama menyorot tentang lemahnya komitmen
pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kemiskinan, pengangguran,
pembangunan infrastruktur, kekerasan terhadap minoritas agama termasuk
penurunan kebebasan pers. Praktis, di 14 tahun reformasi, Indonesia
belum mampu mencetak kemajuan demokrasi yang signifikan. Prosedur
demokrasi berupa pemilu tiga kali, liberalisasi partai, penyelenggaraan
otonomi daerah, reformasi birokrasi dan penataan institusi keamanan yang
demokratis dari tingkat pusat hingga daerah ternyata belum memberikan
potitioning yang jelas ke mana arah demokrasi kita kelak berlabuh.Sebagai refleksi, hal mendesak yang perlu dilakukan ke depannya ialah bagaimana memperkuat kultur dan sistem berdemokrasi sebagai ideologi bersama sehingga mampu menghasilkan kepatuhan, tanggung jawab dan manfaat bersama bagi seluruh warga bangsa dalam menuntaskan berbagai persoalan yang ada. Dengan kata lain perlu ada pembumian demokrasi yang lebih populis baik di dalam instalasi pemerintahan maupun di komunitas masyarakat.
Demokrasi Konstitusional
Pengertian mula-mula demokrasi sejatinya ideologi yang hidup lewat perubahan eksistensial kehidupan berbangsa berbasis realitas. Larry Diamond (2000) bahkan menyarankan dalam mengimplementasikan demokrasi diperlukan keyakinan adanya nilai ideologis (bukan keyakinan monetisme) yang "memaksa" masyarakat tunduk pada nilai konservatisme. Maka, demokrasi konstitusional bisa dikatakan merupakan konsep paling tepat untuk merumuskan visi politik negara, kepemimpinan dan kepentingan rakyat. Menurut Encyclopedia Britanica, konstitusi adalah kodifikasi peraturan-peraturan dasar suatu negara yang menetapkan bentuk kekuasaan negara, sistem pemerintahan maupun hak dan kewajiban warga negara.
Konsep ini memposisikan rakyat sebagai objek utama evidensi demokrasi konstitusional, terutama sejak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan UUD 1945 sebagai groundwet Negara Republik Indonesia, yang antara lain berisi filosofi berdirinya RI. Prinsip dan nilai tersebutlah yang menjadi lanskap perjalanan cita-cita pemerintahan dalam menegakkan konstitusi yang dinamis dan selaras dengan tantangan, kebutuhan bangsa dan negara demi terhindar dari berbagai krisis politik sistemik kebangsaan.
Tahun 2002, kita sempat mengalami krisis konstitusi melalui kelahiran UUD baru yang berbeda rohnya dengan UUD 1945 karena kita memiliki dua konstitusi, yakni UUD 1945 yang belum pernah dibatalkan dan UUD 2002 yang dihasilkan MPR 1999-2004. UUD ini secara material bertentangan dengan UUD 1945 terutama dalam Pasal (2), "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Sedangkan Pasal 3 (1) menetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang. Namun, pengubahan UU ini secara legalitas tidak dijalankan menurut prosedur perubahan konstitusi melalui Ketetapan MPR dan disetujui 2/3 anggota MPR yang hadir. Dengan kata lain, hak dan kepentingan rakyat terilienasi oleh prosedural ketatanegaraan yang menyimpang dari staats fundamental norms - yakni, UUD 1945.
Menurut Roger D Congleton and Birgitta Swedenborg (2006) dalam bukunya Democratic Constitutional Design and Public Policy, tantangan paling substansial mewujudkan demokrasi konstitusional terletak pada konteks dan upaya kepemimpinan melahirkan bukti-bukti kebijakan publik (evidence public policy) yang rasional dan melindungi seluruh kepentingan azasi rakyat. Kebijakan yang ekspektatif-humanis dan berpihak pada rakyat ini membutuhkan dukungan moral publik dan investasi nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan secara melembaga, ideal dan progresif yang terbuka untuk diawasi oleh publik.
Kedaulatan Rakyat
Proses ketekunan bereksperimen dalam membumikan konsep demokrasi dan kepemimpinan yang selaras kebutuhan zaman ini menentukan elevasi negara untuk mampu keluar dari berbagai problemnya baik itu kemiskinan, pengangguran, penyediaan kebutuhan publik dan sebagainya. Bahwa apakah negara tersebut sudah on the track (di jalur benar) dalam menjalankan amanat konstitusionalnya, atau justru off-track, slow (lamban) bahkan off-track regress (mundur) sangat tergantung sejauh mana elit-elit bangsa mampu menderivasikan nilai-nilai filosofi keindonesiaan dalam tatanan kerja kekuasaan kesehariannya (politic day to day) secara bermutu.
Sebab, demokrasi konstitusional selalu mengandaikan terbangunnya kedaulatan rakyat yang tersusun rapi dalam spirit altruisme. Itulah kenapa Hugo Zhaves dari Venezuela berpidato: "kita tak ingin menjadi negara yang menindas hak hidup buruh dan anak serta melukai martabat manusia, menjadi negara yang hanya berpikir menaikkan pendapatan, kita mesti menjadi negara yang memprioritaskan kehidupan rakyat."
Hal yang sama dikatakan Evo Morales dari Bolivia bahwa, "kita harus menjadi negeri bermartabat, negeri di mana rakyatnya yang miskin dilindungi, dihargai dan dimuliakan." (Indiahono, 2008). Merujuk Monavarrian (2002), ada dua prinsip mewujudkan kepemimpinan yang demikian, yakni mampu melakukan yang terbaik (ability to do things better) dan melakukan sesuatu yang ‘berbeda’ (ability to do things difference).
Yang terbaik, mengandung pengertian bahwa dedikasi sikap dan orientasi kepemimpinan yang altruistik, rela mengorbankan kepentingan diri untuk kebaikan rakyat. Sedangkan yang ‘berbeda’ menyangkut bagaimana menemukan solusi problem rakyatnya dengan cara pandang kepemimpinan dan metode, langkah-langkah nyata yang baru, sambil tetap memperjuangkan dan memelihara keyakinan kolektif bahwa keteguhan kita pada jalur demokrasi konstitusional saat ini, pada saatnya akan membawa serta kita pada level bangsa yang bermartabat.***
Penulis adalah Alumnus FH UGM