Kemiskinan dan TKI On Sale

Senin, 05 November 2012
Oleh: Robert Sihombing

Doa Orang Lapar


Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu

melihat bagaimana tangannya sendiri

meletakkan kehormatannya di tanah

karena kelaparan

(W.S Rendra)
Empat baris kutipan puisi W.S Rendra menghantar hati kita untuk melihat dan memaknai
sebuah makna kehidupan yang digerogoti hantu kemiskinan. Rendra benar, seseorang terpaksa harus meletakkan dan mengabaikan apa itu arti martabat dan kehormatan karena "kelaparan" dan "kemiskinan". Tidak ada seorangpun bisa bertahan dalam kelaparan demi mempertahankan "kehormatan" dan "martabat". Itulah yang dialami oleh banyak anak negeri ini, yang konon pernah dikatakan Presiden Soekarno sebagai negeri Gimah Ripah Loh Jinawi atau dalam terminologi musik Group Band Lagendaris Koes Ploes dimaknai sebagai "Negeri Kolam Susu". Tapi, benarkah demikian?


Statistik yang Membanggakan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia periode bulan Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen). Dibandingkan periode Maret 2011 ada penurunan sebanyak 0,89 juta orang (0,53 persen) dari jumlah 30,02 juta orang (12,49 persen). Inilah data resmi yang dikeluarkan pemerintah dengan parameter yang berbeda dengan yang digunakan PBB. Bila kita membandingkan dengan parameter yang digunakan PBB tentang orang miskin di negeri ini, mungkin kita akan kaget sebab menurut mereka Indonesia masih memiliki jumlah penduduk miskin sebparameter atau standar menilai batasan kategori miskin itu berbeda dengan yang dipakai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tentu pasti muncul perbedaan angka yang sangat besar. Adapun PBB memaknai dan memakai garis batas orang miskin adalah mereka yang pengeluarannya kurang dari Rp.17.000 per hari. Sedangkan BPS memakai ukuran pada pengeluaran Rp.7000 per hari. Inilah yang membuat adanya perbedaan yang besar dalam hal jumlah orang miskin di Indonesia.

Kemiskinan bukan hanya soal jumlah ataupun deretan angka-angka yang dapat dimanipulasi bahkan dihapus untuk memuaskan dan mengamankan pemangku status quo. Kemiskinan adalah fakta dan sebuah realitas yang tak dapat ditiadakan ataupun dipungkiri. Bagi rakyat, kemiskinan adalah gerbang kematian yang tidak mampu dibendung dengan kekuatan diri karena kemiskinan sebenarnya sangat terkait dengan struktural. Jadi, orang lain atau pemangku jabatan struktural sangat berperan besar dalam menangani kemiskinan itu sendiri. orang miskin sebagai yang terlibat dalam kasus kemiskinan tidak dapat menyelesaikannya tanpa bantuan pemangku kekuasaan.

Dalam kasus yang menimpa "TKI On Sale" baru-baru ini kita harus mengalami kekecewaan lagi karena para pemangku kekuasaan selalu menggunakan metode dan pendekatan yang sama ketika terjadi peristiwa yang menimpa para TKI di negeri orang, dalam kasus ini di Malaysia. Mereka seakan tidak memiliki kehendak dan kemauan untuk mengubah gerbang kematian itu dari hidup rakyat.

Sebab, sampai sejauh ini, penguasa tidak memaknai kemiskinan itu sebagai sebuah realitas yang mengerikan dan akan menggiring anak bangsa ini memaksa dirinya menjadi budak di negeri orang dengan segala konsekuensi logis yang harus mereka hadapi. Kematian tragis yang terjadi atas diri para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri khususnya (Timur Tengah dan negeri jiran Malaysia) seakan tidak cukup bagi pemerintah untuk mengubah nasib orang miskin di negeri ini.

Baru-baru ini, kita dikejutkan kembali atas kasus "TKI on Sale" yang beredar di negeri jiran. Seorang TKI dihargai 3500 RM setelah potong discount 40%. Berikut tulisan iklan tersebut: "Indonesian maids now on Sale. Fast and Easy application. Now your house work and cooking come easy. You can rest and relax. Deposit only RM 3,500 price RM 7,500 nett." (VIVA news, Selasa 30 Oktober 2012).

Sebagai anak bangsa kita prihatin. Tapi tepatkah kalau kita hanya mengumpat, mengutuk dan kebakaran jenggot karena semua menganggap perlakuan Malaysia tidak bermartabat dan beradab. Banyak penilaian yang muncul akibat peristiwa tersebut. Ada yang mengatakan sebagai perbudakan zaman modern. Ya, biasanya kita selalu reaktif terhadap kasus yang menimpa warga kita di negeri jiran, khususnya Malaysia.

Mungkin satu hal yang penting untuk kita berikan perhatian adalah agar kita melihat kasus tersebut dari kepentingan mutualisma. Agen di negeri ini dan di negeri jiran rupanya saling mendapat keuntungan. Lalu pihak korban (TKI) tidak bisa berbuat apapun kecuali pasrah karena situasi kemiskinannya yang memaksa dirinya harus bekerja sebagai TKI di negeri orang. Lalu, bagaimakah kita harus bersikap?

Gemah Ripah Loh Jinawi

Presiden Soekarno mengatakan tentang negeri ini melalui sebuah ungkapan pendek, Gemah Ripah Loh Jinawi. Artinya: Tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya. Dalam ungkapan sederhanan ini terkandung sebuah arti dan makna yang sangat dalam mengenai kekayaan negeri ini. Bahwa sebenarnya, Negara Republik Indonesia ini memiliki kekayaan besar dan itu diakui oleh dunia internasional.

Seharusnya kita harus menyadari ini bahwa potensi kekayaan yang kita miliki tak terbilang banyaknya. Kekayaan yang semestinya membawa kemakmuran, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh rakyat yang berdiam di Republik ini. Tetapi realitas sesungguhnya berkata lain. Penduduk negeri ini masih dikepung hantu kemiskinan sehingga orang miskin harus dipaksa oleh realistas itu sendiri untuk menghambakan dirinya sebagai TKI di negeri jiran, Malaysia.

Lalu ketika tragedi kemanusiaan menimpa TKI di negeri orang, kitapun ramai-ramai mengutuk bahkan mengajak bangsa ini untuk mengganyang Malaysia. Kita memerlukan teropong untu melihat dan memahami dan melihat letak persoalan sesungguhnya yang menimpa TKI. Kenapa mereka harus menjadi TKI?

Ketika ada kasus menimpa TKI di negeri orang, kita merasa malu atau prihatin dan itu sangat wajar. Lalu penguasa juga tak kalah malu (ikut-ikutan) untuk menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya sangat memperhatikan warganya yang mengalami masalah di negeri orang. Lalu, pertanyaan muncul, ada apa dan kenapa dengan negeri ini? Apakah para pemimpin negeri ini, mulai dari Lurah hingga Presiden mengerti dan berempati kepada warganya yang dikepung oleh kemiskinan?

Bukankah setiap hari kita menyaksikan dan melihat peristiwa-peristiwa mengenaskan melalui media cetak dan elektronik karena kemiskinan yang menyerbu mereka? Ada yang bunuh diri karena tidak bisa makan hari ini, ada yang harus membakar diri bersama anaknya karena tidak ada lauk pauk, ada yang bunuh diri karena tidak bisa membayar uang sekolah anaknya.

Bahkan paling mengenaskan ada anak yang bunuh diri karena tidak bisa membayar uang kutipan-kutipan yang dibuat dan diciptakan sekolah. Ini hanya sepotong kisah memilukan yang menimpa banyak orang miskin di negeri superkaya ini.

Bagi penguasa, kemiskinan dianggap hanya angka-angka tanpa keinginan yang kuat untuk mengubah warganya dari kemiskinan menuju hidup sejahtera. Ketika TKI diobral di Malaysia, penguasa cukup hanya mengutuk dan prihatin dan akan berupaya membicarakannya dengan pihak Malaysia sebagai pertanda bahwa mereka prihatin dengan peristiwa tersebut.

Sebenarnya kita tidak pernah mau melahirkan sikap empati terhadap mereka yang menjadi korban kesewenang-wenangan baik dari majikan maupun kita sebagai bangsa. Paling mengerikan adalah banyak agen TKI berkeliaran mencari mangsa dari bangsanya sendiri untuk dijadikan mangsa para majikan yang tidak menghargai martabat kemanusiaan universal. Kita pun seperti "menari-nari di atas penderitaan TKI" yang adalah anak bangsa ini yang seharusnya diberikan empati dari pihak manapun. Lalu di negeri Gemah Ripah Loh Jinawi ini puluhan juta (BPS) warga bahkan ratusan juta ( PBB) masih dalam belitan dan kepungan kemiskinan akut. Entah kapan akan menikmati kesejahteraannya sebagai warga miskin yang dipelihara oleh negara.

Rakyat pun hanya mampu menabung mimpi-mimpinya untuk bisa hidup sejahtera di negeri ini dan untuk meraih mimpi itulah meraka harus menjadi TKI ke Luar Negeri. Itupun hanya dengan harga obral. Rendra benar, bahwa setiap orang merindukan indahnya sepiring indahnya sepiring nasi panas dan semangkuk sop dan segelas kopi hitam. Itulah mimpi dan harapan berjuta-juta rakyat negeri ini yang masih dibelit kemiskinan. ***

Penulis adalah Rohaniawan

Copyright @ 2013 Dunia Bebas. Designed by Templateism | MyBloggerLab

About Metro