Seorang ayah, kebetulan
pengusaha kaya multi-usaha, menghadapi soal yang amat pelik. Siapakah yang
harus dipilihnya menjadi President & CEO menggantikan dirinya memimpin
kerajaan bisnisnya yang sudah dibangun susah payah lebih dari setengah
abad?
Kini usianya sudah berkepala tujuh dan
penyakit-penyakit tua sudah mulai menggerogoti dirinya. Ia tahu sebentar lagi
dirinya akan mengikuti jejak nenek-moyangnya menuju lorong hidup manusia
fana.
Anaknya tiga orang. Si sulung amat cerdas, meraih MSc.
dan MBA luar negeri, ia berselera canggih, senang glamour, ambisius, dan punya
pergaulan yang luas di kalangan jet set. Cuma si ayah cukup khawatir karena si
sulung ini punya bakat bercumbu dengan bahaya seperti (konon) keluarga Kennedy.
Naluri judinya gede, dan niat curangnya pun cukup kuat. Singkatnya, ia cerdas,
kreatif, namun lihai dan licin.
Si tengah, lebih hebat lagi. Bergelar PhD. bidang
kimia dari universitas beken di Amerika, ia lulus dengan predikat magna cum
laude. Papernya bertebaran di jurnal-jurnal internasional. Bangga sekali hati
si ayah yang cuma lulus SMP zaman Jepang. Dia dosen dan peneliti. Dan di
perusahaan ayahnya dia menjabat sebagai Direktur Riset dan Pengembangan. Tetapi
menjadi CEO, ia terlalu akademis. Kurang cocok dengan bisnis mereka yang kini
berspektrum sangat lebar.
Si bungsu, satu-satunya perempuan, cuma lulus S1 dalam
negeri. Meskipun sejak lima tahun terakhir ia bergabung dengan usaha ayahnya
sebagai Direktur Grup Konsumer, tetapi ia memulai karirnya di perusahaan asing
sebagai wiraniaga (marketing executive). Ia merangkak dari bawah hingga 15
tahun kemudian bisa mencapai posisi General Manager. Otaknya kalah brilian
dibanding kedua kakaknya.
Meskipun cenderung hemat berkata-kata, namun ia
menunjukkan bakat memimpin yang baik. Ia mampu mendengar dengan intens.
Berbagai pendapat dan gagasan bisa diolahnya dengan dalam.Gaya hidupnya biasa
saja. Ia disenangi sekaligus disegani orang karena sikapnya yang fair, jujur,
dan mampu merakyat dengan para bawahannya.
Nah, jika Anda adalah konsultan independen, siapakah
pilihan Anda menggantikan sang patriarch menjadi President & CEO?
Saya bertaruh, sebagian besar Anda akan menominasikan
si bungsu.
Dan si ayah juga demikian. Masalah ini menjadi pelik,
karena menurut adat-istiadat, si sulunglah pewaris takhta. Dan, ia sangat
berambisi untuk itu. Sedang si bungsu, selain paling buncit, perempuan lagi.
Jadi ia kalah status, gelar dan gender.
Bagaimana jalan keluarnya?
Konsultan angkat tangan.
Rujukan buku teks tidak ada. Sang patriarch akhirnya
hanya bisa mengandalkan wibawa dan hikmatnya sebagai ayah. Lalu dipanggilnya
ketiga anaknya.
Dibentangkannya persoalan secara gamblang.
Diuraikannya plus-minus setiap anaknya. Dianalisisnya kemungkinan sukses
masing-masing memimpin grup usaha itu menuju milenium ketiga.
Dialog pun dimulai. Dan si ayah segera maklum, dead
lock akan terjadi.
"Sudahlah, aku akan memutuskan sendiri siapa
penggantiku," kata orangtua itu akhirnya. Ketiganya menurut.
Seminggu kemudian, si ayah datang dengan sebuah ujian.
"Barangsiapa bisa mengisi ruang ini
sepenuh-penuhnya, maka dialah penggantiku," katanya sambil menunjuk ruang
rapat yang cuma terisi empat kursi dan sebuah meja bundar. "Budget
maksimum Rp1 juta," tambahnya lagi.
Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng,
pikirnya.
Besoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan
kertas berkarung-karung.
Dan memang ruangan itu menjadi padat.
"Bagus, besok giliranmu," kata si ayah
kepada anak keduanya.
Duapuluh empat jam kemudian, ruangan itu pun dipenuhinya
dengan butiran styro- foam yang diperolehnya dengan menghancurkan bekas-bekas
packaging.
"Oke, besok giliranmu," kata sang patriarch
menunjuk putrinya.
Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata
ruangan masih kosong.
"Lho, kok kosong?" tanya ketiganya hampir
serempak. Sang putri diam saja.
Dimatikannya saklar lampu. Dari sakunya dia keluarkan
sebatang lilin.
Ditaruhnya di atas meja.
Lalu disulutnya dengan sebatang korek api.
"Lihat, ruangan ini penuh dengan terang. Silahkan
dinilai, apakah ada celah kosong tak tersinari," katanya kalem.
Tak terbantah siapa pun, dia dinyatakan menang dan
sang putri pun berhak menduduki kursi tertinggi. Problem solved.
Kualitas yang ditunjukkan sang ayah dan putrinya
adalah apa yang saya sebut sebagai hikmat. Ciri utama orang berhikmat (wise
person) ialah kemampuan memecahkan masalah secara genuine dan memuaskan. Ini
selaras dengan Jerry Pino yang merumuskan hikmat sebagai kemampuan membuat the
best decision at any given situation.
Pintar, di pihak lain, adalah kemampuan mencerna dan
mengolah informasi secara cepat. Ciri-cirinya, rasional, metodik, linier, dan
analitik.
Kepintaran umumnya diperoleh dengan olah otak sampai
botak.
Dari dulu botak memang ciri orang pintar.
Tetapi hikmat (wisdom) tidak hanya memerlukan olah
otak tetapi terutama olah hati. Jarang kita sadari, hati kita sebenarnya bisa
berpikir. Dalam tradisi literatur kuno, terutama kitab-kitab suci, hati adalah
lokasi kebijaksanaan, hikmat dan kepandaian. Lebih spesifik, hati adalah access
point kita kepada the higher knowledge, yakni kepada Tuhan sendiri. Dalam arti
ini, orang bijak selalu berkonotasi orang alim dan saleh.
Kini,
ketika rasionalisme warisan Descartes dan Immanuel Kant menjadi panglima,
kebijaksanaan yang berasal dari hati (nurani atau suara hati) cenderung
dinomorduakan. Yang utama adalah kepala. Dunia politik, bisnis dan
kemasyarakatan kita kemudian didominasi oleh para pakar dan teknokrat bergelar
master, doktor, dan profesor.